Selective Mutism
Situasi sosial tertentu. Anak
yang mengidap gangguan ini tidak dapat berkata-kata dalam situasi sosial
tertentu, seperti ketika berada di sekolah, tempat umum yang membuatnya tidak
nyaman karena banyak orang, atau ketika berada di lingkungan yang lebih banyak
orang dewasa dibandingkan anak seusianya. Sebaliknya ketika berada di
lingkungan yang nyaman karena familiar, seperti di rumah, saat bermain bersama
kakak atau orang tua, ia bisa lancar berbicara, bahkan terkadang sangat aktif.
Pada dasarnya SM berbeda dari sikap malu-malu atau hambatan interaksi sosial
ketika anak bertemu orang baru, atau bergabung ke lingkungan sosial yang baru.
Jika anak masih saja membisu dan menyendiri setelah 3 bulan di lingkungan
sosial yang sama, namun 'berkicau' di rumah tanpa henti, ini saatnya orang tua
waspada
Deteksi.
Kondisi SM baru akan terdeteksi setelah anak mampu bicara. Menurut para pakar
dari American Pediatric Association (APA) pada kongres tahunan di tahun
2000, SM umumnya baru disadari saat anak berusia 3 tahun. Pada usia ini,
mestinya anak sudah mahir bicara, sehingga terlihat perbandingan kemampuan
verbal, saat anak berada di berbagai situasi dan kondisi. Seringkali orang tua
memaklumi 'kebisuan mendadak' anaknya sebagai sikap pemalu berlebihan yang
dikembangkannya sejak kecil. Sifat ini dianggap menjadi-jadi ketika anak harus
bertemu teman baru atau berada di lingkungan baru. Umumnya jelas terlihat
ketika anak mulai bergabung ke taman bermain, ketika kemampuan sosial anak
berinteraksi dan berbicara pada orang lain menjadi salah satu tonggak
perkembangan yang diharapkan.
Salah deteksi. SM memang belum sepopular autisme di Indonesia karena gejala SM serupa dengan gangguan kecemasan lain seperti pemalu akut, menarik diri, atau cemas berpisah dari orang tua yang lebih umum dialami anak-anak. Tak heran jika akhirnya banyak balita pengidap SM tidak terdeteksi secara tepat.
Penyebab. Hingga saat ini, masih terjadi ketidak jelasan tentang penyebab SM. Namun beberapa peneliti dan ahli perkembangan anak yang tergabung dalam APA menyetujui bahwa sedikit banyaknya pemicu SM adalah sifat dasar yang dibawa seorang anak sejak lahir. Anak yang pencemas, cenderung mengalami SM. Hambatan perilaku ini secara fisik ditengarai berhubungan dengan reaksi berlebih pada bagian otak yang disebut amygdala. Secara fisiologis amygdala bekerja menerima dan memroses sinyal bahaya, yang kemudian membantu seseorang menentukan reaksi perlindungan diri. Pada anak pencemas, amygdala-nya sangat sensitif dan menyalakan alarm “bahaya” ketika anak merasa tidak nyaman berada di lingkungan sosial yang relatif ramai atau tidak dikenalnya. Sekalipun sebenarnya tidak ada bahaya nyata dalam kondisi ini. Tidak sekadar membisu, anak pengidap SM juga mengalami debar jantung yang lebih cepat, dan tangan berkeringat, layaknya seseorang yang mengalami phobia.
Intervensi dini. Charles E. Cunningham, Ph.D salah satu pakar yang bekerja untuk organisasi Selective Mutism, lembaga advokasi pengidap SM di Inggris, mengatakan bahwa sekalipun SM akan “mereda” jika anak merasa nyaman dengan lingkungannya, sangat disarankan agar kondisi ini mendapatkan intervensi dini. SM sebenarnya bukan kondisi yang menetap. Tetapi diingatkan olehnya bahwa kondisi ini bisa berulang jika anak memasuki lingkungan baru yang lain, sehingga sangat disarankan agar dilakukan intervensi perilaku (penanganan oleh ahli) sejak dini. Pada umumnya gangguan perilaku ini terjadi di luar rumah, sehingga lumrah jika lolos dari pengamatan kita sebagai orang tua. Seringkali guru atau pengasuh taman bermain si kecil yang lebih dulu menemukannya. Tak perlu berkecil hati atau resah jika hal ini disampaikan pada Anda. Sebaiknya berterima kasihlah, karena Anda punya kesempatan 'membenahi' si kecil sejak dini.
Salah deteksi. SM memang belum sepopular autisme di Indonesia karena gejala SM serupa dengan gangguan kecemasan lain seperti pemalu akut, menarik diri, atau cemas berpisah dari orang tua yang lebih umum dialami anak-anak. Tak heran jika akhirnya banyak balita pengidap SM tidak terdeteksi secara tepat.
Penyebab. Hingga saat ini, masih terjadi ketidak jelasan tentang penyebab SM. Namun beberapa peneliti dan ahli perkembangan anak yang tergabung dalam APA menyetujui bahwa sedikit banyaknya pemicu SM adalah sifat dasar yang dibawa seorang anak sejak lahir. Anak yang pencemas, cenderung mengalami SM. Hambatan perilaku ini secara fisik ditengarai berhubungan dengan reaksi berlebih pada bagian otak yang disebut amygdala. Secara fisiologis amygdala bekerja menerima dan memroses sinyal bahaya, yang kemudian membantu seseorang menentukan reaksi perlindungan diri. Pada anak pencemas, amygdala-nya sangat sensitif dan menyalakan alarm “bahaya” ketika anak merasa tidak nyaman berada di lingkungan sosial yang relatif ramai atau tidak dikenalnya. Sekalipun sebenarnya tidak ada bahaya nyata dalam kondisi ini. Tidak sekadar membisu, anak pengidap SM juga mengalami debar jantung yang lebih cepat, dan tangan berkeringat, layaknya seseorang yang mengalami phobia.
Intervensi dini. Charles E. Cunningham, Ph.D salah satu pakar yang bekerja untuk organisasi Selective Mutism, lembaga advokasi pengidap SM di Inggris, mengatakan bahwa sekalipun SM akan “mereda” jika anak merasa nyaman dengan lingkungannya, sangat disarankan agar kondisi ini mendapatkan intervensi dini. SM sebenarnya bukan kondisi yang menetap. Tetapi diingatkan olehnya bahwa kondisi ini bisa berulang jika anak memasuki lingkungan baru yang lain, sehingga sangat disarankan agar dilakukan intervensi perilaku (penanganan oleh ahli) sejak dini. Pada umumnya gangguan perilaku ini terjadi di luar rumah, sehingga lumrah jika lolos dari pengamatan kita sebagai orang tua. Seringkali guru atau pengasuh taman bermain si kecil yang lebih dulu menemukannya. Tak perlu berkecil hati atau resah jika hal ini disampaikan pada Anda. Sebaiknya berterima kasihlah, karena Anda punya kesempatan 'membenahi' si kecil sejak dini.
Sumber : http://www.balitasehat.net/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar